Minggu, April 05, 2009

Mendidik Tenaga Pendidik Bagi Siswa Yang Berkebutuhan Khusus



Siri Wormnæs


Penelitian mengenai pendidikan guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus
telah mengidentifikasi banyak masalah dan faktor yang mempengaruhi perkembangan
dan hasil dari program-program yang bertujuan untuk mendidik para pendidik33 bagi
siswa yang berkebutuhan khusus. Program pendidikan guru yang efektif dan tepat harus
mempertimbangkan berbagai permasalahan dengan cakupan yang luas. Tidak cukup
dengan hanya membuat daftar bidang pengetahuan yang diharapkan dikuasai oleh para
calon pendidik. Beberapa isu berkaitan dengan hubungan antara sistem pendidikan
masyarakat dan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan kebutuhan khusus.
Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus yang berkembang di satu
masyarakat pada periode tertentu dalam sejarah terkait dengan konteks tertentu dan
mungkin tidak cocok untuk masyarakat lain atau waktu lain dalam sejarah. Perspektif
tentang pengetahuan, belajar dan mengajar merupakan isu-isu lainnya yang sangat
penting untuk perancangan dan implementasi program pendidikan bagi guru pendidikan
kebutuhan khusus.
Isu-isu dan faktor-faktor yang relevan dengan program pendidikan bagi guru pendidikan
kebutuhan khusus serta beberapa analisis tentang dampak komponen-komponen tertentu
dalam program pendidikan guru akan disajikan di bawah ini, bersama dengan sekilas
pandang tentang tren-tren program pendidikan guru di dunia barat.
Faktor-faktor sosial budaya
Faktor-faktor sosial budaya dalam suatu masyarakat mempengaruhi bagaimana layanan
bagi para penyandang kecacatan (disability)34 berkembang. Contoh faktor-faktor tersebut
adalah peran anak dalam keluarga, bagaimana orang memahami dan memandang
kecacatan, bagaimana masyarakat menghargai pendidikan, peranan pendidikan dalam
menentukan masa depan seorang warga, hubungan antara tanggung jawab swasta dan
pemerintah dalam arena pendidikan dan sosial, prioritas politik, serta sumber daya
ekonomi dan material (Froestad 1996; Ingstad & Whyte 1995). Fakta bahwa terdapat
33 Seorang pendidik di kebanyakan negara akan menjadi guru. Namun, seorang pendidik dapat juga menjadi
seorang profesional yang terlibat dalam program pengembangan atau program pembelajaran dengan bidang
cakupan yang lebih luas daripada yang biasanya dipahami sebagai pengajaran. Makalah ini akan menggunakan
kedua istilah tersebut dengan arti yang sama dalam pengertian yang luas.
34 WHO sedang dalam proses finalisasi Klasifikasi Internasional tentang impairment, disability dan Handicap yang
direvisi dari tahun 1980. Menurut manual tahun 1980, impairment adalah suatu abnormalitas struktur dan
penampilan tubuh, atau gangguan organ atau fungsi sistem. Disability merupakan konsekuensi dari impairment
dalam hal kinerja fungsional dan aktivitas. Handicap mencakup kerugian yang dialami individu sebagai akibat dari
impairment dan disability.
saling ketergantungan antara layanan untuk penyandang cacat dan perkembangan profesi
pendidikan kebutuhan khusus tidak diragukan lagi.
Sebagian orang mengatakan bahwa layanan untuk penyandang cacat menentukan
perkembangan profesi ini, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa kualifikasi dan
pelatihan untuk para profesional mempengaruhi perkembangan layanan tersebut.
Ravneberg (1999) memberikan contoh tentang saling ketergantungan tersebut dalam
analisisnya tentang perkembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai profesi di
Norwegia pada akhir tahun 1800 hingga 1991. Dia menggambarkan bagaimana pendidik
khusus pada mulanya dipandang sebagai guru saja. Secara berangsur-angsur mereka
menduduki posisi yang cenderung lebih Mengarah pada perawatan atau terapi. Peranan
tersebut terkait dengan proses segregasi; proses yang ditandai dengan upaya untuk
mendiagnosis siswa-siswa yang dianggap tidak layak untuk belajar di sekolah reguler.
Kebijakan integrasi, yang telah diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 1970-an,
menuntut bahwa guru reguler bertanggung jawab atas kegiatan pendidikan untuk siswa
penyandang cacat juga. Pendidik khusus menjadi aktif dalam bidang lain dan mengambil
posisi yang menekankan pada konseling, konsultasi dan inovasi. Akhirnya, fokusnya
berpaling ke pencegahan masalah-masalah individu dan ke sistem persekolahan dalam
sistem inklusif. Wacana tentang normalitas dan penyimpangan, dan bagaimana
penyimpangan didefinisikan dan ditempatkan dalam sistem sekolah telah berpengaruh
pada perkembangan profesi ini. Wacana kedua, tentang diferensiasi dan segregasi, juga
telah mempengaruhi perkembangan tersebut. Wacana ketiga yang berpengaruh adalah
tentang partisipasi dan inklusi.
Orientasi ideologi
Nilai-nilai dan keyakinan tentang pengajaran dapat diklasifikasikan menurut bermacammacam
orientasi di dalam pendidikan guru. Orientasi-orientasi tersebut dapat ditandai
dengan fokusnya pada keahlian dan pengetahuan guru tentang mata-mata pelajaran inti di
sekolah (orientasi akademik), dengan penekanan pada keterampilan mengajar teknis
(orientasi teknis), dengan fokus pada berpikir dan kognisi (orientasi praktisi reflektif),
dengan fokus pada belajar mengajar sebagai proses pengembangan pribadi (orientasi
pribadi) atau dengan menciptakan pemahaman tentang konteks sosial sekolah dan
konsekuensi sosial dari tindakan mereka sebagai guru (orientasi inovator atau
emansipasi). Tiap orientasi menawarkan suatu perspektif tertentu tentang penyiapan
profesi guru. Pendidikan guru mengandung aspek-aspek dari kesemuanya itu, tetapi ada
perbedaan dalam penekanan dan fokusnya (Calderhead & Shorrock 1997; Schwarz 1996).
Suatu orientasi dapat dipandang sebagai didasari oleh faktor sosial budaya seperti situasi
dan kebijakan pendidikan masyarakat dan situasi penyandang cacat di masyarakat yang
bersangkutan. Sebuah orientasi dapat didasarkan atas pandangan tentang pengetahuan
apa yang dipandang berharga atau baik, dan perilaku guru yang bagaimana yang dianggap
pantas di masyarakat. Misalnya, guru mungkin diharapkan untuk berpikir kritis tentang
pengajarannya atau mereka mungkin diharapkan terutama untuk menyampaikan
pengetahuan dalam mata-mata pelajaran inti seperti yang disajikan dalam kurikulum
pendidikan dan buku teks resmi. Suatu orientasi dapat juga didasarkan atas apa yang
diyakini sebagai yang terbaik dalam mempersiapkan guru, seperti keyakinan yang kuat
akan belajar keterampilan-keterampilan teknis atau keyakinan yang kuat akan refleksi
(berpikir dan kognisi).
Pendidikan guru umum atau spesialis
Program pendidikan guru khusus pertama kali dikembangkan bagi guru yang bekerja
dalam seting segregasi untuk siswa dengan kecacatan tertentu seperti tunanetra dan
tunarungu. Negara-negara yang telah mengalami peningkatan inklusi siswa penyandang
cacat dalam seting pendidikan reguler telah juga melihat semakin besarnya dukungan
terhadap pemikiran bahwa pendidik umum dan pendidik khusus perlu keahlian dalam
kedua bidang ini (Palmer & Hall 1999), dan bahwa program pendidikan guru reguler dan
program pendidikan guru khusus sejauh tertentu dapat digabungkan, sekurang-kurangnya
pada tahap awal (York & Reynolds 1996). Sebagai konsekuensi dari kebijakan inklusi di
Norwegia, pendidikan guru reguler untuk semua siswa diharuskan mencakup unsur-unsur
pendidikan kebutuhan khusus. Mahasiswa35 dapat memilih mata kuliah ttambahan dalam
pendidikan kebutuhan khusus sebagai bagian dari pendidikan guru reguler. Setelah lulus,
setiap guru dapat melanjutkan pendidikannya dalam pendidikan kebutuhan khusus.
Beberapa universitas menawarkan pendidikan yang lebih akademis dalam pendidikan
kebutuhan khusus profesional, dengan lebih menekankan pada konseling, inovasi dan
penelitian. Perbedaan antara pendidikan yang diadaptasikan untuk populasi siswa yang
beragam dalam sekolah inklusif dan pendidikan kebutuhan khusus untuk siswa-siswa
yang membutuhkan kurikulum atau metode yang khusus merupakan isu kontroversial
dalam perdebatan sekarang ini.
Perspektif pengayaan, yang dirumuskan di Norwegia sebagai suatu pendekatan alternatif
atau pelengkap terhadap model pendidikan khusus diagnostik-terapeutik, adalah suatu
model yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan yang melibatkan asesmen tentang
apa yang dapat dilakukan oleh anak serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah, dan
menggunakan informasi ini sebagai titik tolak untuk menciptakan atau mengadaptasikan
lingkungan belajar. Untuk mengaktualisasikan perspektif ini akan memerlukan
perubahan dalam program pendidikan guru (Befring 1997).
Terdapat juga diskusi di kalangan para pendidik guru yang terlibat dalam pendidikan guru
khusus mengenai apakah program tersebut harus berdasarkan kategori kecacatan, harus
lintas kategori atau tanpa kategori. Tren di Amerika Serikat adalah semakin cenderung ke
program lintas kategori dan non-kategori, khususnya yang berhubungan dengan
penyiapan guru-guru bagi siswa penyandang cacat ringan (York & Reynolds 1996). Di
Norwegia kecenderungannya adalah ke arah yang sama, meskipun muncul juga argumen
yang sebaliknya, khususnya dalam hal mendidik guru bagi siswa tunanetra dan tunarungu.
Diskusi mengenai penyiapan guru pendidikan kebutuhan khusus berdasarkan usia
kronologis juga telah muncul dalam literatur profesional terbaru. Untuk anak-anak usia
prasekolah, fokusnya pada pencegahan gangguan perkembangan dan peningkatan
interaksi anak dalam lingkungan. Untuk jenjang sekolah dasar, perhatian yang lebih besar
dapat diberikan pada dukungan terhadap pertumbuhan akademik dan keterampilan
fungsional. Pada jenjang sekolah menengah, perhatian dapat diberikan pada pelatihan
kejuruan. Bagi orang dewasa, fokusnya lebih pada pekerjaan, partisipasi masyarakat dan
pendidikan lanjut (York & Reynolds 1996).
35 Kata “mahasiswa” digunakan untuk orang yang belajar untuk menjadi guru.
Bidang-bidang sasaran untuk kompetensi yang
dipersyaratkan
Daftar kompetensi, seperti yang dipublikasikan oleh The American Concil of
Exceptional Children, dan disajikan di bawah ini, adalah daftar yang umum ditemukan
dalam literatur mengenai bidang pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dimiliki
oleh guru pendidikan kebutuhan khusus. Setiap bidang sasaran itu menuntut kompetensi
yang cenderung ditandai oleh aspek-aspek pengetahuan profesional yang akan dibahas
berikut ini (pengetahuan faktual, praktis dan familiaritas).
1. Landasan filosofis, historis dan legal pendidikan khusus
2. Karakteristik siswa
3. Asesmen, diagnosis dan evaluasi
4. Isi materi dan praktek mengajar
5. Perencanaan dan pengelolaan lingkungan belajar dan mengajar
6. Pengelolaan perilaku dan keterampilan interaksi sosial siswa
7. Komunikasi dan kemitraan kolaboratif
8. Profesionalisme dan praktek etis (Swan & Sirvis 1992)
(York & Reynolds 1996:824).
Kategori-kategori lain yang telah ditambahkan oleh ahli-ahli lain meliputi keterampilan
baca tulis dasar, interaksi antara siswa penyandang cacat dengan sebayanya yang noncacat,
kerjasama dengan orang tua, dan pengajaran interaktif untuk pengembangan
kognitif. Disarankan agar daftar di atas diperpanjang bila mempertimbangkan kebutuhan
khusus yang unik siswa yang tunanetra atau tunarungu, atau yang menyandang kecacatan
lainnya yang berinsiden rendah. Pengetahuan dan keterampilan dalam bidang medis dan
masalah kesehatan, pengajaran berbasis masyarakat, dan kerja tim lintas sektoral dapat
ditambahkan untuk menangani siswa penyandang cacat ganda dan kecacatan yang parah
(York & Reynolds 1996).
Satu bidang tambahan yang muncul dalam literatur pendidikan guru adalah yang terkait
dengan pembuatan keputusan yang didasarkan atas nilai-nilai mengenai isu-isu tentang
kesetaraan dalam masyarakat, pemberian penghargaan akademis di sekolah, dilema antara
memberikan kenyamanan kepada anak yang mengganggu melalui kegiatan bermain
versus disiplin yang lebih ketat (York & Reynolds 1996). Menurut Calderhead &
Shorrock (1997) etika kepedulian, sebagai satu faset pengajaran, telah sering dihargai oleh
guru, orang tua dan anak-anak, tetapi belum diakui dalam diskusi tentang pengembangan
profesional. (lihat bab yang ditulis oleh Johnsen & Rye dalam buku ini.) Bagian dari
pengembangan profesionalisme guru adalah mempertanyakan nilai-nilai yang dianutnya
sendiri dan meningkatkan tingkat kesesuaian antara nilai-nilai itu dengan prakteknya.
Dilema moral merupakan aspek pengajaran dan memerlukan perhatian dalam pendidikan
guru.
Dari kejuruan menjadi profesi
Dale (1993) merujuk pada Schaefer (1967) dan membedakan antara pelatihan untuk
kejuruan36 dan pendidikan untuk profesional37 bagi guru. Melatih guru untuk kejuruan
mengajar berarti memberi mahasiswa gambaran praktis tentang prinsip-prinsip belajar,
melatih keterampilan, memberi calon guru berbagai teknik dan prosedur yang telah
terbukti berguna. Di pihak lain, pendidikan profesional dimaksudkan untuk menciptakan
suatu dasar bagi guru yang mau bereksplorasi, reflektif dan berpengetahuan, seorang guru
yang memiliki bermacam-macam strategi untuk membangun pengetahuan baru, untuk
mengobservasi, mendeskripsikan dan mengevaluasi proses-proses belajar.
Perkembangan sejarah pendidikan guru di banyak negara barat dapat digambarkan
sebagai semakin meningkatnya penekanan pada orientasi profesional dan berkurangnya
orientasi kejuruan yang lebih terbatas. Upaya-upaya untuk mengembangkan kompetensi
di kalangan mahasiswa pada tahun 1960-an dan 1970-an didasarkan atas definisi
keterampilan berdasarkan perilaku guru di dalam kelas dan merancang program pelatihan
yang difokuskan pada keterampilan-keterampilan yang spesifik (Calderhead & Shorrock
1997). Sejak tahun 1970-an, diakui bahwa mahasiswa perlu mengembangkan suatu
pemahaman praktek dan memperoleh sejumlah keterampilan berdasarkan pemahaman
tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kompetensi ini menuntut pemahaman
tentang mata pelajaran yang diajarkan, pemahaman tentang anak, kemampuan dan
minatnya dan bagaimana mereka cenderung merespon terhadap bermacam-macam
situasi, apresiasinya terhadap berbagai strategi mengajar dan bagaimana berbagai jenis
aktivitas di kelas dapat dikelola (Calderhead & Shorrock 1997).
Kebutuhan masyarakat dan sumber-sumber yang tersedia di dalamnya serta ekspektasi
dan tuntutan publik serta pihak otoritas terhadap sekolah dan peran guru akan
mempengaruhi perkembangan pendidikan guru, apakah harus memberi penekanan pada
pelatihan untuk kejuruan atau profesi. Jika terdapat kekurangan guru, mungkin akan lebih
bermanfaat jika melatih lebih banyak guru untuk menguasai keterampilan-keterampilan
tertentu yang dapat dipelajari dalam waktu yang lebih singkat daripada mendidik guru
sebagai profesional menurut kriteria yang dikemukakan oleh Dale. Suatu masyarakat
tertentu mungkin akan berkeberatan untuk mendidik guru yang kritis dan reflektif.
Tiga aspek pengetahuan profesional
Melalui analisis teoritis terhadap hakikat pengetahuan dan penelitian tentang kehidupan
kerja, tiga aspek pengetahuan profesional telah didefinisikan. Ketiga aspek itu disebut
pengetahuan faktual (atau pengetahuan proposional atau pengetahuan formal),38
pengetahuan praktis (atau keterampilan)39 dan pengetahuan familiaritas (atau tacit
knowing)40 (Göranzon & Josefson 1988). Pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang
dapat diekspresikan melalui teori, kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, konsep-konsep dan
definisi. Ini adalah pengetahuan yang dapat dipelajari dari buku. Satu contoh aspek
pengetahuan ini, yang dihasilkan dari studi kehidupan kerja Di sebuah lembaga psikiatri
di Norwegia, adalah pengetahuan tentang autisme (Alsterdal 1999). Pengetahuan praktis
36 Bahasa Norwegia: yrkesutdanning. Bahasa Inggris: craft.
37 Bahasa Norwegia: profesjonsrettet utdanning
38 Bahasa Norwegia: påstandskunnkap
39 Bahasa Norwegia: ferdighetskunnskap
40 Bahasa Norwegia: fortrolighetskunnskap
atau keterampilan adalah penguasaan teknik-teknik tertentu. Satu contoh jenis
pengetahuan ini, yang juga dihasilkan dari studi yang disebutkan di atas, adalah teknik
untuk menghentikan serangan fisik dari klien yang mempunyai masalah perilaku
(Alsterdal 1999). Pengetahuan familiaritas adalah aspek pengetahuan yang sulit dijelaskan,
seperti kemampuan untuk menangani suatu situasi yang unik atau kemampuan untuk
mengenali wajah. Pengetahuan ini dibangun dari pengalaman, tetapi lebih dari sekedar
pengalaman. Ada orang yang dapat belajar dari pengalaman, tetapi ada pula yang tidak.
Satu contoh pengetahuan seperti ini dari studi Alsterdal (1999) adalah seorang pegawai
yang mampu mencegah seorang klien yang memiliki masalah perilaku untuk tidak
menjambak rambut orang lain. Pegawai tersebut telah mengenal pola perilaku klien itu,
dan telah belajar cara menghentikan perilaku tersebut, tetapi dia tidak dapat menjelaskan
secara pasti apa yang telah diamatinya sehingga dapat menentukan pilihan tentang apa
yang harus dilakukannya itu. Dia belum tentu mampu membimbing klien yang sama
dalam situasi yang lain atau mencegah klien lain menjambak rambut orang. Jadi,
pengetahuan familiaritas ini hanya berlaku untuk tugas-tugas tertentu, tidak berlaku
umum. Ketiga aspek tersebut berkembang dalam interaksi (Alsterdal 1999).
Schön (1983;1987) berargumen bahwa pengetahuan faktual tidak dapat dipergunakan
sebagai “resep” untuk praktek seorang guru. Seorang guru senantiasa dihadapkan pada
situasi-situasi yang unik. Dia mendefinisikan atau mengkonseptualisasikan situasi,
memilih apa yang akan diperlakukan sebagai masalah, menetapkan batas-batas perhatian
dan menggunakan kumpulan contoh-contoh yang ada, serta menerapkan pemahaman
dan tindakannya.
Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya dirancang
sedemikian rupa Sehingga mencakup kesemua aspek pengetahuan profesional itu.
Memfasilitasi refleksi
Refleksi telah memperoleh banyak perhatian dalam kaitannya dengan pengetahuan guru,
pendidikan guru dan pertumbuhan profesional. Schön adalah salah seorang penulisnya
yang berpengaruh. Refleksi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali suatu
masalah, untuk mengajukan hipotesis, untuk menyelidikinya, menganalisisnya, membuat
keputusan dan mengevaluasi apakah prosesnya dapat diperbaiki atau tidak.
Schön telah mengidentifikasi dua bentuk refleksi: refleksi dalam tindakan dan refleksi
tentang tindakan. Refleksi dalam tindakan adalah proses memonitor dan
mengadaptasikan perilaku seseorang terhadap suatu situasi. Bagi seorang guru, ini akan
terjadi pada saat dia berinteraksi dengan siswa di kelas. Refleksi tentang aksi adalah
evaluasi setelah kejadian di kelas, menganalisis di mana kesulitan muncul,
mempertimbangkan bagaimana kesulitan tersebut dapat ditangani, dan merencanakan
tindakan selanjutnya (Calderhead & Shorrock 1997).
Schön menyarankan agar mentor41 mengkomunikasikan pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan praktisnya dengan bekerja bersama dengan siswa dalam memecahkan
masalah, dengan membicarakan kemajuan pekerjaannya dan dengan membicarakan cara
alternatif bagi siswa untuk mempersepsi situasi tertentu (Calderhead & Shorrock 1997).
Namun, implementasi pendidikan guru untuk mendidik guru yang reflektif ternyata tidak
41 Guru atau dosen yang mengawasi dan membimbing mahasiswa atau siswa dalam hal pengalaman
sekolah/kuliahnya sehari-hari.
mudah (Wood & Bennett 2000; Calderhead & Shorrock 1997). Diskusi dan partisipasi
aktif tampaknya merupakan metode yang khas untuk ini. Aktivitas yang dimaksudkan
untuk meningkatkan dorongan untuk menyelidiki dan menambah pengetahuan dan
pemahaman, interaksi berbasis wacana dan berpusat pada mahasiswa telah diperkenalkan
dalam program pendidikan di banyak negara barat.
Di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo, tren selama tiga atau
empat tahun terakhir ini adalah mengurangi jam perkuliahan dan meningkatkan waktu
untuk kegiatan mahasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan refleksi dan asesmen diri.
Mahasiswa telah terlibat lebih banyak dalam pemecahan masalah secara aktif dan
mengurangi mendengarkan perkuliahan secara pasif (Lauvås & Vea 2000). Melalui
konseling yang cukup, pendidik guru dapat mendorong para mahasiswa mengembangkan
“teori praktek profesionalnya” sendiri (Lauvås & Handal 2000). Pendidik guru perlu
membangkitkan dan kemudian menggunakan ide-ide mahasiswa yang ada sebagai dasar
untuk membantu mereka membangun pemahaman baru. Menurut beberapa penelitian,
diskusi kelompok di kalangan mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendukung penting
(Hawkey 1995 dalam Calderhead 1997).
Perhatian selektif dan interpretasi bias
“Memasuki Konsepsi” yang dimiliki calon guru itu mempengaruhi interpretasi tentang
informasi dan pengalaman baru, dan oleh karenanya juga mempengaruhi apa yang
dipelajari dari pendidikan guru. Misalnya, jika calon guru sangat berkomitmen untuk
meningkatkan kompetensinya dalam satu aspek pengajaran, maka mereka akan memilih
dan mengasimilasi ide-ide tentang aspek tersebut, mengabaikan atau menghindari kesankesan
dan ide-ide lain (Anderson, Smith & Peasley 2000). Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa perhatian yang selektif terhadap satu aspek tertentu akan
menghambat terintegrasinya berbagai konsepsi dalam dua cara. Perhatian selektif
membatasi perbendaharaan pengetahuan tentang praktek-praktek yang sudah
dikembangkan karena sebagian dari praktek-praktek tersebut tidak akan dipersepsi
sebagai berharga dan tidak patut untuk dipelajari. Perhatian yang membatasi perhatian
terhadap ide-ide yang umum akan mencegah dipertimbangkannya ide-ide yang tidak
sesuai dan akibatnya mengabaikan kesempatan untuk belajar dengan mempertimbangkan
ide-ide alternatif (Anderson, Smith & Peasley 2000).
Masalah Implementasi
Asumsi mendasar dalam beberapa bidang, di antaranya bidang pendidikan, adalah bahwa
guru-guru yang memahami teori, telah belajar konsep-konsep yang relevan, telah
memahami kompleksitas situasi mengajar dan telah belajar mengenai praktek-praktek
yang baik akan memanfaatkan pengetahuan tersebut. Akan tetapi, penelitian
menunjukkan bahwa “mengetahui tidak berarti melakukan” (Schwartz 1996, hal 6). Guru
tidak selalu melaksanakan apa yang diketahuinya. Ini disebut masalah implementasi.
Di dalam literatur, ada tiga kemungkinan penjelasan tentang masalah implementasi ini.
Ketiga penjelasan tersebut adalah sebagai berikut: 1) dipertahankannya keyakinan tentang
pengajaran dan pekerjaan serta peran guru, 2) dipertahankannya penggunaan konsepkonsep
sehari-hari, dan 3) adaptasi guru pemula terhadap budaya profesional dan
kenyataan praktek yang mereka temukan sebagai guru.
Orang muda yang memasuki pendidikan guru telah lebih banyak melihat guru bekerja
daripada melihat kelompok pekerjaan lain (Lortie 1975). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa keyakinan yang dibawa mahasiswa ke dalam pelatihan prajabatan,
yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya, sejauh tertentu tetap dipertahankan selama
masa pelatihannya (Richardson 1996). Daya terima terhadap pendekatan-pendekatan
mengajar yang berorientasi konstruktivisme, misalnya, menurun akibat keyakinan yang
kuat dari mahasiswa bahwa peran guru adalah memberikan pengetahuan kepada siswa
dengan cara pengajaran langsung (Richardson 1996). Alasan mengapa mahasiswa dan
guru pemula cenderung menerapkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelum
memasuki pendidikan guru, mungkin karena “orang memegang berbagai keyakinannya
dalam rumpun-rumpun, dan tiap rumpun di dalam sistem keyakinan itu mungkin
terlindung dari rumpun lain” (Richardson 1996:103 didasarkan atas Green 1971). Jadi,
keyakinan yang tidak sesuai mungkin berada dalam rumpun yang berbeda. Keyakinankeyakinan
yang bertentangan tentang obyek atau ide yang sama, yang diperoleh selama
pengalaman hidup sebelumnya dan yang diperoleh dari pendidikan guru dapat digunakan
secara bergantian, tergantung pada konteksnya.
Penjelasan lain yang terkait erat untuk masalah implementasi tersebut, yang didasarkan
atas pandangan Vygotsky tentang perkembangan konsep, menyatakan bahwa guru
pemula mungkin menggunakan dua cara untuk membangun pengetahuan
kependidikannya: konsep spontan dan konsep keilmuan. Konsep spontan atau konsep
keseharian muncul dalam konteks penggunaannya. Pemikiran individu berkembang dari
fenomena yang dialaminya berulang kali dalam konteks yang spesifik, ke kategori yang
dapat digeneralisasikan. Di pihak lain, konsep keilmuan diperoleh dari pengajaran formal,
yang diawali dengan pemahaman analitik. Ide-ide dipandang dalam kaitannya dengan
konsep-konsep lain, tidak dikaitkan dengan pengalaman konkret. Bila kedua cara yang
bertentangan untuk mengkonstruksi pengetahuan ini digabungkan, maka terbentuklah
apa yang disebut sebagai konsep yang benar, dan konsep tersebut dapat digunakan dalam
pemikiran praktis. Dalam sebuah penelitian tentang perolehan pengetahuan dalam
pengajaran membaca, mahasiswa memperluas penggunaan istilah-istilah kependidikannya
yang relevan, tetapi ini tampaknya tidak menghasilkan pemahaman yang lebih dalam
(Roskos & Walker 1993:425). Roskos dan Walker berpendapat bahwa ini mungkin
mencerminkan apa yang oleh Vygotsky diistilahkan sebagai konsep “semu” atau konsep
peralihan, “bayangan” konsep yang digunakan terutama untuk berkomunikasi dengan
orang lain, tidak berfungsi sebagai cerminan pemikiran pedagogis mahasiswa itu sendiri”.
Pola budaya lembaga pendidikan (misalnya yang terkait dengan sistem nilai, pandangan
dunia, organisasi sosial, keterampilan teknis, sistem perekonomian, sistem politik, bahasa
yang dipergunakan, sistem estetika, proses sosialisasi dan pendidikan yang menentukan
transmisi pengetahuan dan tradisi) mempengaruhi pemanfaatan pengetahuan
kependidikan yang diperoleh dalam program pendidikan guru. Guru pemula mendapati
bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan norma-norma perilaku atau ekspektasi yang
ditentukan oleh universitas atau lembaga pendidikan guru atau sistem sekolah (Schwartz
1996). Kenyataan praktis lingkungan sekolah, keyakinan yang dianut oleh teman sejawat,
ekspektasi atau tuntutan dari senior atau atasan dapat mempengaruhi pilihan tindakan
dan bahkan pemikiran guru pemula. Sosialisasi profesional merupakan proses yang
kompleks dan sejauh tertentu tidak disadari oleh guru tersebut. Program pendidikan guru
tidak dapat menghapus dampak pengaruh ini tetapi dapat berupaya untuk
mempersiapkan mahasiswa untuk kenyataan di masa datang.
Menantang keyakinan, konsep dan konsepsi di
kalangan mahasiswa
Jika tujuan mendidik guru adalah untuk memberikan pendidikan profesional, bukan
untuk pelatihan kejuruan (lihat di atas), maka program pendidikan guru perlu diatur
sedemikian rupa sehingga memberi para calon guru kesempatan untuk mengeksplorasi,
mempertanyakan dan menantang keyakinan dan konsep yang mereka miliki ketika
memasuki program tersebut. Pendidikan berbasis kasus atau berbasis masalah, yang
menggunakan contoh-contoh dari situasi kehidupan nyata sebagai titik fokus dalam
proses belajar mahasiswa, telah memperoleh semakin banyak dukungan dari para
pendidik guru. Meskipun demikian, Powell (2000) telah mengambil kesimpulan dari salah
satu penelitiannya bahwa pendidikan berbasis kasus itu kompleks dan peka budaya dan
dapat dibatasi oleh pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta didik
sebelumnya. Ini harus disertai dengan upaya untuk membangun suatu dasar pengetahuan
umum melalui teknik-teknik pendidikan yang lebih tradisional.
Universitas atau lembaga pendidikan keguruan memiliki fungsi yang penting dalam
memberikan pengetahuan (pengetahuan faktual) serta merancang kesempatan yang
disajikan dalam bentuk dilema kontekstual berdasarkan kenyataan praktek, dan dengan
menguji pengetahuan praktis calon guru.
Dalam menggambarkan proses perkembangan calon guru, Anderson et al. (2000)
menggunakan lintasan metafor (yaitu orbit, jalur) dan daya. Pendidikan guru di masa lalu
dapat dipersepsi sebagai suatu modifikasi terhadap alur individual, bukan menggantikan
satu konsepsi dengan konsepsi lain.
“Setiap calon guru yang memasuki program tersebut sudah mulai bergerak melalui alur
tertentu, mencari-cari untuk belajar tentang aspek pengajaran tertentu yang kongruen
dengan setiap konsepsi belajar dan mengajar yang baik yang dimilikinya saat ini.…
Hasilnya adalah interaksi antara setiap mahasiswa yang memasuki lintasan itu dengan
kekuatan yang didesakkan oleh program tersebut. Interaksi yang dihasilkan adalah
sinambungnya reorientasi lintasan yang dilalui masing-masing mahasiswa itu, biasanya
lebih mendekati tujuan program tetapi orientasinya tidak sempurna.” (Anderson et al
2000:567).
Kekuatan yang didesakkan oleh program pendidikan guru terhadap keyakinan dan
ideologi serta pandangan dapat diciptakan oleh kesempatan belajar yang diberikan
melalui perkuliahan, pengalaman lapangan, serta pelatihan dan umpan balik individual.
Mahasiswa harus mengenali pengaruh konteks dan sistem yang telah membentuk dirinya.
Pengalaman Praktek sebagai Bagian dari Pendidikan
Guru
Guru kelas biasanya berperan dalam pendidikan bagi para mahasiswa karena pengalaman
di dalam kelas telah dipandang penting. Beberapa negara (misalnya Inggris, Amerika
Serikat, Australia dan Belanda) baru-baru ini telah mulai bergerak ke arah pendidikan
guru yang lebih berbasis sekolah. Proporsi waktu yang lebih besar telah dialihkan ke
pengalaman di sekolah dengan mengurangi aktivitas di universitas atau lembaga
pendidikan keguruan (Calderhead & Shorrock 1997).
Sebagian orang memandang perkuliahan yang berbasis universitas sebagai terlalu
akademis. Negara-negara lain (seperti Perancis dan Italia) telah mengikuti tren yang
sebaliknya. Di Norwegia sebagian besar aktivitas yang terjadwal dilaksanakan di
universitas atau lembaga pendidikan keguruan, tetapi dengan semakin memberi
penekanan pada penggunaan contoh-contoh autentik dari sekolah dan tempat lainnya.
Para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus, Universitas Oslo, selama
beberapa tahun terakhir ini telah terlibat dalam proyek-proyek kemitraan antara
universitas dan institusi lain di luar universitas (Hagtvet, Horgen, Horn, Lassen, Lauvås
& Lyster 2001). Guru reguler dan pendidik khusus di lapangan menjadi mentor bagi para
mahasiswa di kelas atau dalam pekerjaan menangani klien, tetapi dosen universitas juga
dilibatkan.
Pengalaman di sekolah dipandang sebagai peluang untuk memberi mahasiswa
kesempatan untuk berpraktek, berlatih dan menerapkan pengetahuan dan keterampilanya
di bawah pengawasan (Schwartz 1996). Ini dapat juga menjadi kesempatan untuk
terekspos pada nilai-nilai dan praktek-praktek, cara berpikir dan bertindak yang berlaku di
dalam sistem persekolahan dan di sekolah tertentu, dan memberi kesempatan untuk
berefleksi dalam praktek dan tentang praktek.
Namun, ada juga yang mengklaim bahwa penulis telah gagal memahami makna belajar
melalui praktek (Mc Intyre 1995). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, unsur
belajar yang sangat penting untuk mengajar adalah mengenali, mempertanyakan dan jika
perlu memodifikasi prakonsepsi, keyakinan dan konsep-konsep yang ada. Tindakan
mentoring dapat berupa modeling, memberikan dukungan atau bantuan, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, membimbing, menjelaskan, menunjukkan minat, berdiskusi,
menunjukkan dilema-dilema, mengkonfrontasi prakonsepsi tentang pengajaran dll. Tidak
banyak penelitian yang telah menganalisis interaksi antara mentor dan mahasiswa, dan
bagaimana dan apa yang dipelajari mahasiswa dari pengalaman mentoring itu (Stanulis &
Russell 2000). Pendidikan guru berbasis sekolah pada tahap awal dengan guru sekolah
melakukan pekerjaan mentoring telah menunjukkan beberapa keterbatasan kualitatif
yang serius. Hakikat keahlian guru sekolah itu sangat kompleks dan sulit untuk
mengakses keahlian semacam ini. “Akan jauh lebih mudah bagi guru untuk berbicara
dengan nada autoritatif dan dengan menggunakan istilah-istilah yang umum tentang
praktek yang baik daripada mengemukakan pertimbangan-pertimbangan situasional yang
kompleks yang menginformasikan praktek yang sesungguhnya, motivasi, kesabaran dan
waktu yang diperlukan untuk mengungkapkan keahliannya yang sesungguhnya” (Mc
Intyre 1995:38).
Keahlian guru terdiri dari kecakapan dalam mempersiapkan pelajaran dan ketepatan
dalam pengambilan keputusan di kelas, yang tergantung pada pengetahuan dan
keterampilan yang dikembangkan selama bertahun-tahun. Sulit bagi guru untuk
mengetahui aspek apa dari keahliannya yang relevan bagi para pemula yang pengetahuan
dan keterampilannya masih terbatas (Mc Intyre 1995).
Para dosen di universitas juga harus menyadari kekurangan-kekurangan dalam interaksi
mentoring, seperti betapa sulitnya untuk tidak mengungkapkan interpretasi pribadi
tentang mahasiswa, walaupun mentor tidak bermaksud demikian. Penting untuk
menciptakan lingkungan yang benar-benar mendukung dan menantang di mana guru,
mahasiswa dan dosen saling belajar.
Universitas dapat mengatur agar guru dan mahasiswa memperoleh informasi tentang
temuan-temuan penelitian dan berbagai pendekatan pendidikan. Peran mereka adalah
untuk meraih ilmu, pemahaman, penyelidikan rasional, dan refleksi (Kirk 1996). Ini
dipandang sebagai suatu kontribusi khusus yang dapat diberikan oleh universitas dalam
pendidikan guru, mencegah agar pendidikan profesi tidak menjadi pelatihan kejuruan dan
menghindari pelatihan yang dapat membuat guru menjadi konservatif dan tidak
imajinatif.
Kata penutup
Untuk mengembangkan kurikulum bagi pendidikan guru dibutuhkan keputusankeputusan
mengenai tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan, bidang-bidang studi
utama dalam kurikulum, isi pendidikan yang harus disampaikan dalam masing-masing
bidang studi, jenis-jenis pengalaman belajar, sistem evaluasi, dan pola umum kurikulum
(Taba 1962). Sebagaimana dijelaskan di atas, faktor ideologi dan sosial budaya merupakan
prasyarat dan kondisi mendasar untuk kebijakan dan implementasi praktis pendidikan
guru di masyarakat. Kualifikasi yang diinginkan dan dibutuhkan oleh guru pendidikan
kebutuhan khusus tergantung pada berbagai faktor kontekstual. Hasil dari suatu program
yang mendidik guru pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh ideologi dan
pengalaman mahasiswa yang telah mereka miliki sebelumnya serta jenis kesempatan
belajar yang mereka dapatkan melalui program ini dan mata kuliah yang tercantum dalam
kurikulum.
Daftar Pustaka
Alsterdal, L; (1999), Det tredje øyet. Yrkesdyktighet og omsorgskunnskap. (The Third
Eye. Professional Ability/Competence and Care-giving Knowledge) Oslo,
kommuneforlaget.
Anderson, L.M., Smith, D.C. & Peasley, K. 2000. Integrating learner and learning
concerns: prospective elementary science teachers’ paths and progress. Teaching
and Teacher Education, 16:547-574.
Befring, E. 1997. the enrichment perspective. A special educational approach to an
inclusive school. Remedial and Special Education, 18:182-187.
Calderhead, J. & Shorrock, S.B. (1997). Understanding Teacher Education, Case
Studies in the Professional Development of Beginning Teachers. London, The
Falmer Press.
Dale, E.L. (1993). Den profesjonelle skole. (The Professional School). Oslo, Ad
Notam Gyldendal.
Froestad, J. 1996. Den offentlige handikappolitikk, Et bidrag til de
funksjonshemmdes frigjøring? (The public handicap policy . A contribution to the
emancipation of the disabled.) Spesialdedagogikk, 7:3-13.
Göranzon, B. & Josefson, I. 1988 (Eds.). Knowledge, Skill and Artificial Intelligence.
Berlin, Springer – Verlag.
Hagtvet, B., Horgen, T., Horn, E., Lassen, L., Lauvås, K & Lyster, S. 2001.
Profrsjonsutdanning i spenningsfeltet mellom teori og håndverk. (Professional
Education in the Tension between Theory and Crafts) (Unpublished)
Ingstad, B. & Whyte, S.R. 1995. Disability and Culture. Los Angeles, University of
California Press.
Kirk, G. 1996. Partnership: The Sharing of Culture?. In J. McCall & R.M.. Mackay
(Eds). ATEE 21st Annual Conference, 35-48. Glasgow, Scotland, University of
Strathclyde, Faculty of Education, Jordanhill Campus.
Lauvås, K & Vea, G.D. (2000), Studenter utvikler sin rådgivingskompetanse. Jakten
på den gode undervisning. (Students developing their counselling competence.
Hunting for the good education.) Spesialpedagogikk, 10:3-10.
Lauvås, P. & Handal, G (2000), Veiledning og praktisk yrkesteori. (Supervision and
Practical Theory pf Profession). Oslo, Cappelen Akademisk.
Lortie, D. C. 1975. School – Teacher. A Sociological Study. Chicago, The University
of Chicago Press.
McIntyre, D. 1995. Initial teacher education and the work of teachers, In J. Rudduck
(Ed). An Education that Empowers. A Collection of Lectures in Memory of Lawrence
Stenhouse. Clevedon, England, Multilingual Matters:29-43.
Palmer, D. J. & Hall, R. (1999). Teacher training in special education. In C.R.
Reynolds & E. Fletcher-Janzen (Eds). Encyclopedia of Special Education (2nd
edition). A reference for the education of the handicapped and other exceptional
children and adults, 1691-1693. New York: John Wiley and Sons.
Powell, R. 2000. Case-based teaching in homogeneous teacher education contexts:
A study of preservice teachers’ situative cognition. Teaching and Teacher Education,
16:389-410.
Ravneberg, B. (1999). Normalitetsdiskurser og profesjonalseringsprosesser. En
studie av den sepesialpedagogiske yrkesutvikling. 1880-1990. (Discourses and
Normality and Professionalization Process. A Study of the Development of the
Profession of Special Needs Education. 1889 – 1990.) Institutt for administrasjon og
organisasjonsvitenskap. Universitetet i Bergen. Rapport nr 69.
Richardson, V. 1996. The role of attitudes and beliefs in learning to teach. In J.
Sikula, T.J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher
Education: a Project of the Association of Teacher Education (2nd edition). New
York, Macmillan Library Reference, USA:102-119.
Roskos, K. & Walker, B 1993. An analysis of preservice teachers’ pedagogical
concept in the teaching of problem readers. Yearbook of the National Reading
Conference:418-428.
Schwartz, H. 1996. The Changing Nature of Teacher Education. In J. Sikula, T. J.
Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project
of the Association of Teachers Educators (2nd edition). New York, Macmillan Library
Reference, USA :3-13.
Schön, D. (1983) The reflective practitioner: How professionals think in action, New
York, Basic Books.
Schön, D. (1987). Educating the Reflective Practitioner: Toward a new Design for
Teaching and Learning in the Professions. San Francisco, Jossey-Bass.
Steanulis, R.N. & Russell, D. (2000), “Jumping in”: Trust and communication in
mentoring student teachers. Teaching and Teacher Education, 16:65-80
Taba, H. (1962). Curriculum Development. Theory and Practice. New York, Harcourt,
Brace and World.
Wood, E. & Bennet, N. (2000). Changing Theories, Changing Practice: Exploring
Early Childhood Teachers’ Professional Learning. Teaching and Teacher Education,
16:635-647.
York,J.L. & Reynolds. M.C. (1996). Special Education and Inclusion. In J. Sikula, T.J.
Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project
of the Association of Teacher Educators. (2nd edition). New York, Macmillan Library
Reference, USA:820-836.

Dilema Pendidikan Inklusi

Seorang sahabat yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMU Negeri di Surabaya bercerita pada saya bahwa dia merasa sangat kesulitan untuk menerangkan mata pelajaran kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra di kelasnya. Di satu sisi dia merasa sangat kesulitan dan sepertinya hampir putus asa, namun di sisi lain dia merasa bahwa tanggungjawabnya adalah mencerdaskan seluruh siswanya tanpa terkecuali termasuk siswa difabel. Sahabat saya tersebut kemudian terus berusaha untuk menemukan cara yang tepat guna mengajarkan ilmu kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra. Sementara siswa tuna netra tersebut semakin merasa tersisih dari proses belajar dalam kelas tersebut karena kebutuhannya informasi yang cukup tidak terakomodasi dengan metode belajar yang dilakukan.
Sebenarnya fenomena di atas tidak perlu terjadi jika sistem pendidikan inklusi dipersiapkan dengan lebih matang. Tahapan – tahapan tersebut antara lain; sosialisasi, persiapan sumber daya (preparing resources), dan uji coba (try out) metode pembelajaran. Sosialisasi pendidikan inklusi dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang maksud dan tujuan pendidikan inklusi kepada tenaga pengajar, siswa, dan orang tua. Fungsi sosialisasi sangat penting untuk membangun pra kondisi lingkungan sekolah dan juga kesiapan mental baik bagi siswa maupun para guru.Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan sumber daya yang menyangkut kesiapan peralatan peraga untuk simulasi dan kesiapan ketrampilan tenaga pelaksana pendidikan. Kelengkapan peraga untuk pendidikan inklusi memang lebih kompleks dibanding dengan alat peraga ajar yang umum digunakan. Sehingga dituntut kreatifitas dari guru untuk melakukan simulasi proses belajar mengajar. Sementara persiapan tenaga pelaksana pendidikan adalah dengan melakukan pelatihan (training) tentang beberapa metode pelaksanaan pendidikan inklusi kepada para guru.
Jika kedua langkah tersebut telah dilaksanakan maka langkah terakhir adalah melakukan uji coba metode pendidikan inklusi pada sekolah yang ditunjuk. Uji coba dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas metode yang digunakan sekaligus untuk melakukan evaluasi sehingga dapat dicari solusi tepat untuk melakukan perbaikan jika ditemukan kekurangan. Ketika ketiga langkah tersebut sudah terlaksana dengan baik, maka pendidikan inklusi mulai dapat diaplikasikan pada sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project.
Subtansi Pendidikan Inklusi
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.
Dilema
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel.
Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Tulisan ini dimuat di Metropolis- Jawa Pos 1 Juli 2008

Selasa, Maret 17, 2009

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI SD NEGERI GEJAYAN

Oleh : Y. Sri Kayungyun, S.Pd.
(Kepala Sekolah SDN Gejayan)
LATAR BELAKANG MASALAH
Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, dalam hal ini termasuk didalamnya adalah anak yang berkebutuhan khusus (ABK).
Sistem Pendidikan Inklusi memberikan kesempatan belajar pada anak-anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak-anak pada umumnya, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Tamatan SLB tidak mudah diterima oleh masyarakat, hal ini antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan pendidikan yang terpisah dari anak-anak pada umumnya sehingga kurang sosialisasi. Dengan adanya Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi ini akan dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya, maka diharaapkan upaya menuntaskan wajib belajar yang didalamnya termasuk anak berkebutuhan khusus akan dapat terlaksana.
SD N Gejayan pada awalnya hanya mendidik anak-anak normal, yang kemudian pada kurang lebihtahun 1982 ditunjuk menjadi rintisan sekolah terpadu bagi anak Tuna Netra dimana anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam hal Dria Penglihatan dapat ikut dilayani pendidikannya di sekolah bersama anak-anak yang normal. Hingga saat ini dalam perkembangannya SD Negeri Gejayan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi dengan dilandasi payung hukum Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 089 Tahun 2005 tanggal 30 Juni 2005. Anak berkebutuhan khusus yang ada disekolah ini mendapatkan layanan pendidikan bersama-sama dengan anak yang normal dengan mengacu pada kebutuhan khusus anak dan segala potensi yang dimiliki anak.
Letak SD Gejayan yang strategis menjadi akses terdekat bagi keluarga yang mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus di wilayah sekitar Kecamatan Depok untuk dapat mengikutsertakan anak bersekolah di SD terdekat dengan rumah dikarenakan letak SLB yang sesuai dengan kebutuhan khusus anak cukup jauh, juga banyak diantaranya karena kesulitan ekonomi sehingga pilihan untuk menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di SD Negeri Gejayan dirasa lebih murah atau lebih terjangkau dari pada menyekolahkannya di SLB.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Cara Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi ?
2. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran Inklusi ?
3. Bagaimanakah cara pembelajaran Inklusi yang sudah ditempuh di SD Negeri Gejayan ?
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
1. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi akan mendapatkan hasil yang optimal bila dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan
2. Tahapan Operasional Pelaksanaan
a. Persiapan
b. Pelaksanaan
c. Monitoring

Pelaksanaan pembelajaran di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi khususnya di SD Negeri Gejayan dalam mengakses siswa berkebutuhan khusus sejak siswa baru (kelas I) masuk sekolah, diidentifikasi dengan pengamatan melalui kegiatan proses belajar mengajar. Untuk para anak berkebutuhan yang nota bene lamban dalam mengikuti proses belajar mengajar memang tidak bisa langsung kita ketahui bahwa anak tersebut tergolong lamban belajar (slow learner). Ini perlu membutuhkan waktu, perlu proses. Anak tersebut bisa dikategorikan slow learner, bila sulit mengikuti kegiatan belajar mengajar (kegiatan akademik), dan anak tersebut akan terus tertinggal dengan teman-teman yang lain (yang normal).

ALASAN PEMILIHAN STRATEGI PELAKSANAAN
Prinsip Management Berbasis sekolah yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi SD Negeri Gejayan mempunyai beberapa kekuatan, diantaranya·
Sekolah mempunyai keleluasaan dalam segi perencanaan program, proses penyelenggaraan, pemantaauan atau pengawasan hingga evaluasi dan penyusunan rencana tindak lanjut penyelenggaraan program sekolah.

Tahap operasional pelaksanaannya meliputi :
1. Persiapan yang memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Pendataan jumlah anak berkebutuhan khusus, jenis kebutuhan khusus dan lokasi tempat tinggal anak.
b. Sosialisasi tentang sistem pendidikan Inklusi.
c. Penetapan Model Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi yang sesuai dengan Satuan Pendidikan yang ada (SD).
d. Penyiapan Guru Pendamping Khusus dari Tenaga PLB (Pendidikan Luar Biasa).
e. Pemenuhan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh peserta didik berkebutuhan khusus yang ada.
2. Pelaksanaan
a. Asesmen anak berkebutuhan khusus dan penempatannya.
b. Pelaksanaan pembelajaran dan layanan pendidikan lainnya dengan prinsip inklusi (menghargai perbedaan).
c. Pendampingan dan peningkatan kapasitas lembaga maupun Tenaga Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi.
d. Penjadwalan pendampingan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
3. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengukur dan menilai hasil serta kinerja pelaksana program penyelenggaraan sistem pendidikan Inklusi.


HASIL ATAU DAMPAK YANG DICAPAI DARI STRATEGI YANG DIPILIH
1. Adanya kerjasama dan hubungan yang sinergis antara Kepala sekolah, Guru/ Tenaga Kependidikan, Pustakawan, Karyawan, Peserta didik reguler, Peserta didik berkebutuhan khusus, Orang tua peserta didik berkebutuhan khusus, Orang tua peserta didik reguler, Para ahli terkait (Psikolog, Dokter Anak, dan sebagainya) dan Masyarakat Sekolah.
2. Terwujudnya proses pembelajaran dengan lingkungan pembelajaran yang kondusif, komunikatif, aksesibel, ramah dan bersahabat untuk semua.

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM MELAKSANAKAN STRATEGI YANG DIPILIH
Ø Dana : Kurang adanya asupan dukungan dana yang memadai bagi SPPI
Ø Sarana dan Prasarana : Kurang tersedianya Sarana dan Prasarana yang memadai terutama dalam hal pengadaan alat bantu pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak. Misal : Reaglet + Stylus + Kertas, Globe Timbul maupun Peta Timbul.
Ø Banyaknya jenis kebutuhan khusus anak yang di SPPI SD Negeri Gejayan yang menyebar di setiap kelas dari kelas 1 sampai dengan 6 sehingga kadang menyulitkan guru dalam memberikan pelayanan pendidikan yang optimal.


FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
Ø Adanya Tenaga Guru Pembimbing Khusus dari SLB Citra Mulia Mandiri yaitu Ibu Anastasia Murtiningsih yang siap membantu menangani Anak Berkebutuhan Khusus di SPPI SD Negeri Gejayan.
Ø Beberapa Guru Reguler telah mengikuti Diklat Orientasi Pelaksanaan Pendidikan Inklusi.
Ø Kesiapan dan penerimaan yang baik bagi Anak Berkebutuhan Khusus oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar.
Ø Diterapkannya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.

ALTERNATIF PENGEMBANGAN
1. Memberikan kesempatan pada guru untuk lebih inovatif dalam memberikan pelayanan pendidikan (khususnya untuk anak berkebutuhan khusus).
2. Mengadakan kerjasama dengan Resource Centre, SLB terdekat untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan bagi anak didik khususnya Anak Berkebutuhan Khusus.
3. Mencari Bantuan Dana.
4. Guru-guru yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan menindaklanjuti dengan menerapkan ilmunya di kelas.
5. Menggunakan alat-alat yang ada untuk mengoptimalkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.

KESIMPULAN
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melayani pendidikan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi SD Negeri Gejayan dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Prinsip Management berbasis sekolah yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan di SPPI SD Negeri Gejayan mempunyai beberapa kekuatan.
2. Pelaksanaan pembelajaran dan layanan pendidikan di SPPI SD Negeri Gejayan dilaksanakan dengan prinsip inklusi (menghargai perbedaan).
3. Monitoring dan evaluasi selalu dilakukan untuk mengukur dan menilai hasil serta kinerja pelaksanaan program penyelenggara sistem pendidikan inklusi di SPPI SD Negeri Gejayan.
4. Adanya kerjasama dan hubungan yang sinergis dari warga sekolah dan masyarakat sekitar.
5. Terwujudnya proses pembelajaran dengan lingkungan pembelajaran yang kondusif, komunikatif, aksesibel ramah dan bersahabat untuk semua.
6. Guru-guru sudah menerapkan hasil pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan khusus yang dialami siswa.
7. Alat peraga yang ada sudah digunakan oleh guru.

Untuk menindaklanjuti upaya penyelenggaraan pendidikan inklusi di SPPI SD negeri Gejayan kami mengajukan rekomendasi sebagai berikut :
a. Dinas Pendidikan Provinsi DIY, Resource Centre, dan Instansi terkait untuk terus mengadakan diklat/ pelatihan secara berkelanjutan bagi guru reguler, untuk dapat meningkatkan pelayanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi.
b. Sekolah memanfaatkan Sumber Daya Manusia yang ada untuk lebih mengoptimalkan dalam hal pelayanan pendidikan khususnya bagi ABK.
c. Memberikan motivasi dan dukungan kepada guru untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dan kinerja secara terus menerus.
d. Sekolah melalui RAPBS mengalokasikan dana untuk meningkatkan pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang ada di SPPI.

Minggu, Maret 15, 2009

PSB 2008/2009 SD Negeri Gejayan

S D NEGERI GEJAYAN

TERAKREDITASI “ A “

Alamat : Gejayan, Condongcatur, Depok, Sleman D.I. Yogyakarta 55283 Telp. 0274-7482342

E-mail : sdn_gejayan@plasa.com

Visi

“Unggul Dalam Mutu Berdasarkan Iman Dan Taqwa“

Misi

1. Mengintegrasikan pembelajaran dan bimbingan kepada siswa dalam bidang pengajaran di sekolah, sehingga siswa berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki.

2. Membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar secara spesifik untuk dapat meningkatkan belajar secara optimal.

3. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut siswa agar menjadi pedoman dalam bertindak, dan dapat terwujud siswa yang berbudi pekerti luhur dan berbudaya tinggi.

4. Menumbuhkan etos kerja yang tinggi kepada seluruh personil sekolah.

5. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, suasana KBM yang nyaman, siswa kerasan di kelas.

6. Menjalin kerja sama yang erat dengan masyarakat sekitar dan instansi terkait dalam peningkatan mutu pendidikan.



Syarat Pendaftaran

a. Mengisi formulir pendaftaran

b. Menyerahkan foto copy Akta Kelahiran

c. Menyerahkan foto copy STTB TK (apabila ada)

Fasilitas

1. Letak strategis, aman, nyaman, mudah dijangkau

2. 6 Ruang Kelas Belajar

3. 1 Ruang UKS

4. 1 Ruang Kesenian

5. 1 Ruang Olah Raga

6. 1 Ruang Laboratorium IPA

7. 1 Ruang Ketrampilan

8. 1 Ruang Perpustakaan

9. 1 Ruang Bimbingan Khusus

10. 1 Ruang Bimbingan Pendidikan Agama Kristen/ Katholik

11. 1 Ruang Koperasi Siswa

12. 1 Ruang Komputer

13. Mushola



Pelaksanaan KBM

1. Senin – Kamis Pkl. 07.00 – 11.45

2. Jum’at Pkl. 07.00 – 10.15

3. Sabtu Pkl. 07.00 – 10.45

4. Kegiatan lain seperti Bimbel, Ekstrakurikuler diatur sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan dengan wali murid

5. TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) kelas III tiap hari Selasa dan Rabu Kegiatan



Ekstrakurikuler :
Pencak Silat
Seni Musik
Seni Lukis
Baca Tulis Al-Qur’an (Bimbingan pelaksanaan Ibadah)
a. Setiap siswa diwajibkan memilih salah satu dari kegiatan Ekstrakurikuler tersebut
b. Bagi siswa yang berminat boleh memilih lebih dari satu kegiatan Ekstrakurikuler
c. Untuk menunjang kelancaran kegiatan Ekstrakurikuler di atas, hal pendanaan akan dimusyawarahkan pada saat Rapat Pleno dengan Wali Murid yang akan dilaksanakan pada akhir bulan Juli 2008.
Prestasi Yang Pernah Diraih
1. Juara I Sepak Bola HUT RI ke-58
2. Juara I Lomba Lukis
3. Juara I Pidato Bahasa Inggris
4. Juara I Pidato Bahasa Jawa
5. Juara Mapel PKn Nasional
6. Juara Pesta Siaga (Kepramukaan)
7. Juara Kegiatan Purna Latih (Kepramukaan)

Jumat, Maret 13, 2009

Profil SD Negeri Gejayan

SD Negeri Gejayan

Kepala Sekolah :
Y. Sri Kayungyun, S.Pd.

Ketua Komite Sekolah :
Drs. Sutarman, M.A.

Tata Usaha :
Sugeng Saefudin, S.H.I.

Petugas Perpustakaan :
Herni Prihatin

Dewan Guru :
Sri Winarsih, A.Ma.Pd. ( Guru Kelas )
Rubinah, A.Ma.Pd. ( Guru Kelas )
Suhadi (Guru Kelas )
Hj. Sri Rusmiyatun, S.Pd. ( Guru Kelas )
Sugiyati, S.Pd.I. ( Guru Pendidikan Agama Islam )
Sri Lestari (Guru Pendidikan Jasmani )
Wahyuni, A.Ma. ( Guru Kelas )
A. Murtiningsih, A.Md. ( Guru Pembimbing Khusus )
Th. Suprihatiningsih ( Guru Pendidikan Agama Katolik )
Yuni Lestari ( Guru Kelas )
Wening Kinarti, S.PAK. ( Guru Pendidikan Agama Kristen )

Penjaga Sekolah : Hartono